Tak bisa dipungkiri lagi,
perpindahan penduduk yang tidak terkendali dapat menimbulkan masalah di
perkotaan. Perpindahan penduduk tersebut dapat berupa Urbanisasi ataupun Transmigrasi.
Transmigrasi adalah kehendak pemerintah yang telah dikaji mendalam untuk
memindahkan sekelompok masyarakat dari suatu daerah yang padat menuju ke daerah
yang jarang penduduknya. Transmigrasi dilaksanakan dalam rangka mencapai
kemakmuran maupun pemerataan penduduk di Indonesia. Sedangkan urbanisasi
merupakan proses meng-kota atau menuju kekotaan atau Perpindahan penduduk dari desa ke kota. Seperti itulah
gambaran mengenai kedua fenomena tersebut.
Sesuai dengan hukum seleksi
alam ala Darwin yang telah mengubah cara pandang manusia yang membahas fenomena
seleksi dalam kompetisi kehidupan. Hal ini berbanding lurus dengan konsekuensi
dari migrasi penduduk, dari banyaknya urbanisasi ataupun transmigrasi yang terjadi, pasti ada yang survive dan selebihnya hanya mampu hidup seadanya bahkan hidup
untuk sekedar untuk mengisi perut saja. Penduduk yang telah terseleksi hingga
batas akhir inilah yang akan menjadi masalah besar bagi pemerintah kota.
Biasanya mereka disebut gepeng
(gelandangan dan pengemis).
Menurut keterangan
Liponsos Surabaya yang dilansir detik.com
data hingga Juni 2014, jumlah penghuni
liponsos sebanyak 1.353 terdiri dari 809 laki-laki dan 544 perempuan. Jumlah
ini didominasi psikotik sebanyak 746 laki-laki dan 445 perempuan disusul gepeng
58 laki-laki dan 99 perempuan serta 5 laki-laki anak jalanan (anjal).Sedangkan untuk jumlah keseluruhan yang ada Surabaya tentu akan melebihi
data tersebut. Ketidakpastian jumlah gepeng yang berkeliaran di Surabaya menimbulkan
masalah yang pelik. Pemerintah sendiri telah menggelontorkan dana sebesar 8
Miliar per tahun untuk pengentasan gepeng tersebut. Dalam hal ini Liponsos
Surabaya menjadi ujung tombak pemerintah untuk mengatasi permasalahan ini.
Liponsos Surabaya yang
terletak di Keputih sejatinya hanya mampu menampung 400 orang. Namun pada
kenyataannya diisi oleh 1300 lebih penghuni. Belum lagi untuk gepeng yang masih
berkeliaran dan belum terjaring razia. Pemerintah melalui Dinas Sosial pun juga
telah melakukan razia di perempatan jalan maupun di sekitar Traffic light. Semua tindak pengendalian
telah dilakukan pihak terkait untuk menekan bertambahnya gepeng yang
berkeliaran.namun, tetap saja para gepang sulit untuk dikontrol dan
diberdayakan.
Salah satu solusi yang bisa
dicoba adalah dengan menampung gepeng di RT/RW di Surabaya yang masih memiliki
tempat yang bisa ditinggali. Biasanya daerah yang seperti itu diberi tanda “di
bawah pengawasan RT xx” dan “Selain Penghuni dilarang masuk”. Menurut seorang
ketua RT yang telah penulis wawancarai, para gepeng memang telah lama
berkeliaran di tempat-tempat umum dan meresahkan warga. Sehingga ia
berinisiatif untuk membantu gepeng dengan menawarkan tempat tinggal namun
dengan beberapa syarat. Diantaranya adalah tidak boleh membuat keributan dan
menjaga kebersihan tempat yang dipinjamkan. Selain itu, jika ada gepeng yang
telah memiliki anak yang telah memasuki usia kerja maka diusahakan untuk tidak
menetap disana lagi untuk memicu kamajuan dari gepeng.
Dan yang penulis tekankan
adalah perbedaan antara pendatang dan penduduk yang bisa dijadikan simbiosis
yang menguntungkan satu sama lain. Gepeng sejatinya merupakan penduduk
pendatang dari desa yang memiliki karakteristik gemainschaft yang menjunjung tinggi kekeluargaan. Sedangkan penduduk
yang telah menetap di kota adalah masyarakat yang bertipe gesselschaft yang individualis. Kedua karakteristik tersebut
membuka kesempatan untuk saling mengisi satu sama lain. Kedua belah pihak
mendapatkan keuntungan tersendiri dimana gepeng tadi yang memiliki nilai
kekeluargaan tinggi sehingga menjunjung
tinggi nilai tolong menolong dan lebih peka terhadap lingkungan bisa diandalkan
dalam pengamanan dan penertiban di daerah yang mereka tempati. Hal ini sangat
besar manfaatnya bagi penduduk yang telah lama menetap dimana mereka notabene
merupakan masyarakat yang “jarang pulang”, bahkan jika kita dating siang hari
ke kediaman mereka, yang akan kita temui hanyalah pembantu mereka. Seperti
itulah perbedaan yang bisa dijadikan simbiosis antara penduduk pendatang
(gepeng) dengan penduduk asli.
Sesuai dengan apa yang
dilakuakan ketua RT yang telah penulis wawancarai. Para pendatang yang
sesungguhnya tidak diperbolehkan menetap di daerah itu akhirnya dikumpulkan
oleh ketua RT dan dipinjamkan tempat untuk bermukim dengan persyaratan yang
telah ditentukan sebelumnya. Semua mekanisme yang dijalani mungkin memang
manyalahi aturan dari pemerintah kota. Namun simbiosis ini sangat membantu
kedua belah pihak dan merupakan karunia tersediri.
Disanalah terletak otoritas
ketua RT atau ketua RW untuk berani melakukan teerobosan. Karena sesungguhnya
jika menunggu walikota turun tangan tidak akan menyelesaikan banyaknya
permasalahanyang ada. Hal inilah yang menjadi bukti adanya peran otoritas
terkecil sekalipun dalam realita kehhidupan kota.
Oleh karena itu, penulis
mengajak kepada pembaca untuk senantiasa memperhatikan nasib masyarakat di
sekitar kita yang notabene tak berbeda dari kita. Sehingga tercipta kehidupan
yang harmoni dan berkelanjutan. Serta berani mengambil keputusan untuk
melakukan perubahan, karena sesungguhnya perubahan itu bisa diawali dari hal-hal
kecil. Khoirunnas yan faunnas.
Sumber foto: https://www.flickr.com/photos/91084680@N02/8272149719/