Friday, March 20, 2015

Solusi Pengelolaan Migrasi Penduduk di Surabaya: Pemberdayaan gepeng di Mulai Dari Otoritas Terkecil


         Tak bisa dipungkiri lagi, perpindahan penduduk yang tidak terkendali dapat menimbulkan masalah di perkotaan. Perpindahan penduduk tersebut dapat berupa Urbanisasi ataupun Transmigrasi. Transmigrasi adalah kehendak pemerintah yang telah dikaji mendalam untuk memindahkan sekelompok masyarakat dari suatu daerah yang padat menuju ke daerah yang jarang penduduknya. Transmigrasi dilaksanakan dalam rangka mencapai kemakmuran maupun pemerataan penduduk di Indonesia. Sedangkan urbanisasi merupakan proses meng-kota atau menuju kekotaan atau Perpindahan  penduduk dari desa ke kota. Seperti itulah gambaran mengenai kedua fenomena tersebut.
Sesuai dengan hukum seleksi alam ala Darwin yang telah mengubah cara pandang manusia yang membahas fenomena seleksi dalam kompetisi kehidupan. Hal ini berbanding lurus dengan konsekuensi dari migrasi penduduk, dari banyaknya urbanisasi ataupun transmigrasi yang  terjadi, pasti ada yang survive dan selebihnya hanya mampu hidup seadanya bahkan hidup untuk sekedar untuk mengisi perut saja. Penduduk yang telah terseleksi hingga batas akhir inilah yang akan menjadi masalah besar bagi pemerintah kota. Biasanya mereka disebut gepeng (gelandangan dan pengemis).
Menurut keterangan Liponsos Surabaya yang dilansir detik.com data hingga Juni 2014, jumlah penghuni liponsos sebanyak 1.353 terdiri dari 809 laki-laki dan 544 perempuan. Jumlah ini didominasi psikotik sebanyak 746 laki-laki dan 445 perempuan disusul gepeng 58 laki-laki dan 99 perempuan serta 5 laki-laki anak jalanan (anjal).Sedangkan untuk jumlah keseluruhan yang ada Surabaya tentu akan melebihi data tersebut. Ketidakpastian jumlah gepeng yang berkeliaran di Surabaya menimbulkan masalah yang pelik. Pemerintah sendiri telah menggelontorkan dana sebesar 8 Miliar per tahun untuk pengentasan gepeng tersebut. Dalam hal ini Liponsos Surabaya menjadi ujung tombak pemerintah untuk mengatasi permasalahan ini.
Liponsos Surabaya yang terletak di Keputih sejatinya hanya mampu menampung 400 orang. Namun pada kenyataannya diisi oleh 1300 lebih penghuni. Belum lagi untuk gepeng yang masih berkeliaran dan belum terjaring razia. Pemerintah melalui Dinas Sosial pun juga telah melakukan razia di perempatan jalan maupun di sekitar Traffic light. Semua tindak pengendalian telah dilakukan pihak terkait untuk menekan bertambahnya gepeng yang berkeliaran.namun, tetap saja para gepang sulit untuk dikontrol dan diberdayakan.
Salah satu solusi yang bisa dicoba adalah dengan menampung gepeng di RT/RW di Surabaya yang masih memiliki tempat yang bisa ditinggali. Biasanya daerah yang seperti itu diberi tanda “di bawah pengawasan RT xx” dan “Selain Penghuni dilarang masuk”. Menurut seorang ketua RT yang telah penulis wawancarai, para gepeng memang telah lama berkeliaran di tempat-tempat umum dan meresahkan warga. Sehingga ia berinisiatif untuk membantu gepeng dengan menawarkan tempat tinggal namun dengan beberapa syarat. Diantaranya adalah tidak boleh membuat keributan dan menjaga kebersihan tempat yang dipinjamkan. Selain itu, jika ada gepeng yang telah memiliki anak yang telah memasuki usia kerja maka diusahakan untuk tidak menetap disana lagi untuk memicu kamajuan dari gepeng.
Dan yang penulis tekankan adalah perbedaan antara pendatang dan penduduk yang bisa dijadikan simbiosis yang menguntungkan satu sama lain. Gepeng sejatinya merupakan penduduk pendatang dari desa yang memiliki karakteristik gemainschaft yang menjunjung tinggi kekeluargaan. Sedangkan penduduk yang telah menetap di kota adalah masyarakat yang bertipe gesselschaft yang individualis. Kedua karakteristik tersebut membuka kesempatan untuk saling mengisi satu sama lain. Kedua belah pihak mendapatkan keuntungan tersendiri dimana gepeng tadi yang memiliki nilai kekeluargaan  tinggi sehingga menjunjung tinggi nilai tolong menolong dan lebih peka terhadap lingkungan bisa diandalkan dalam pengamanan dan penertiban di daerah yang mereka tempati. Hal ini sangat besar manfaatnya bagi penduduk yang telah lama menetap dimana mereka notabene merupakan masyarakat yang “jarang pulang”, bahkan jika kita dating siang hari ke kediaman mereka, yang akan kita temui hanyalah pembantu mereka. Seperti itulah perbedaan yang bisa dijadikan simbiosis antara penduduk pendatang (gepeng) dengan penduduk asli.
Sesuai dengan apa yang dilakuakan ketua RT yang telah penulis wawancarai. Para pendatang yang sesungguhnya tidak diperbolehkan menetap di daerah itu akhirnya dikumpulkan oleh ketua RT dan dipinjamkan tempat untuk bermukim dengan persyaratan yang telah ditentukan sebelumnya. Semua mekanisme yang dijalani mungkin memang manyalahi aturan dari pemerintah kota. Namun simbiosis ini sangat membantu kedua belah pihak dan merupakan karunia tersediri.
Disanalah terletak otoritas ketua RT atau ketua RW untuk berani melakukan teerobosan. Karena sesungguhnya jika menunggu walikota turun tangan tidak akan menyelesaikan banyaknya permasalahanyang ada. Hal inilah yang menjadi bukti adanya peran otoritas terkecil sekalipun dalam realita kehhidupan kota.
Oleh karena itu, penulis mengajak kepada pembaca untuk senantiasa memperhatikan nasib masyarakat di sekitar kita yang notabene tak berbeda dari kita. Sehingga tercipta kehidupan yang harmoni dan berkelanjutan. Serta berani mengambil keputusan untuk melakukan perubahan, karena sesungguhnya perubahan itu bisa diawali dari hal-hal kecil. Khoirunnas yan faunnas.




Sumber foto: https://www.flickr.com/photos/91084680@N02/8272149719/















No comments:

Post a Comment